Kamis, 20 April 2017

BANTEN SEGEHAN KAJIAN ESTETIKA HINDU

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Umat Hindu memiliki beragam upakara yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan. Keanekaragaman upakara tersebut merupakan salah satu ciri khas budaya Hindu di Bali. Berbagai macam persembahan dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud rasa bhakti dan rasa syukur umat kehadapan-Nya. Umat Hindu memiliki upakara untuk Upacara Bhuta Yadnya, yaitu upakara yang dihaturkan kehadapan para Bhuta Kala, tujuannya adalah untuk menetralisir kekuatan negatif menjadi kekuatan positif yang ada di alam semesta ini. Upakara ini yang disebut banten segehan yang disebut sebagai upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil.
Dalam kesempatan ini, banten segehan yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara Bhuta Yadnya akan dikaji melalui unsur-unsur Estetika Hindu yang terkandung dalam banten segehan. Adapun unsur-unsur tersebut ialah kebenaran (Satyam), Kesucian (Siwam), dan Keindahan (Sundaram). Melalui pengkajian ini diharapkan umat Hindu dapat memahami fungsi segehan ini, yaitu sebagai aturan terkecil untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala dan niskala, terutama terhindar dari gangguan para Bhuta Kala (Kala Bhucara-Bhucari).

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah unsur-unsur Satyam dalam Banten Segehan?
2.      Bagaimanakah unsur-unsur Siwam dalam Banten Segehan?
3.      Bagaimanakah unsur-unsur Sundaram dalam Banten Segehan?



BAB II
KONSEP

2.1 Banten Segehan
Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali berasal dari kata sega “nasi”, lalu mendapat akhiran “an”. Sega adalah kata dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti “nasi”. Segeh berarti “penyambutan”, dan segehan berarti ”menyuguhkan sesuatu” (pada tamu yang terhormat). Dalam hal ini segehan dapat diartikan sebagai sebuah suguhan kepada para Bhuta Kala yang sangat dihormati, karena sesungguhnya Bhuta Kala itu adalah Tuhan sebagai wujud-Nya yang berbeda dalam hubungannya dengan pemberian anugerah kepada pemuja-Nya.
Segehan adalah sebuah wujud ritual umat Hindu Bali kepada Tuhannya yang berupa nasi dalam berbagai bentuk. Segehan adalah caru dalam wujud yang lebih kecil (Arwati, 1992: 3). Segehan adalah sajen yang digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya yang mana biasanya beralas taledan berisi nasi, lauk-pauk: bawang, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58).
Segehan oleh sebagian masyarakat Bali, juga dikenal dengan sebutan blabaran. Kata blabaran berasal dari kata blabar “banjir”, mendapat akhiran -an menjadi blabaran berarti “kebanjiran”. Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang. Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau kebanjiran, itu adalah pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya. Persembahan untuk menangkal bahaya tersebut di Bali dikenal dengan segehan. Segehan adalah ritual kurban atau caru dalam tingkatan kecil atau sederhana. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.
Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan keperluan. Segehan adalah kurban atau ritual persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara umum, fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang (Bhuta Rna).
Wujud ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan. Wujud ritual segehan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya. Bagaimanapun wujudnya, bahan utamanya tidaklah berbeda, yaitu nasi atau sega. Yang berbeda-beda antara di suatu daerah dan daerah lainnya adalah alas yang digunakan. Di beberapa daerah menggunakan daun pisang sebagai alas, dan di daerah yang lainnya menggunakan janur. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan daun pohon dadap atau daun pohon yang lain sebagai alasnya.
Seperti telah dijelaskan di atas, segehan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan kepada para bhuta kala beserta pengikut-Nya yaitu Kala Buchara dan Buchari (Bhuta Kala) yang dipersembahan sehari-hari supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar Merajan dan Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Sebagai sebuah ritual kurban, segehan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, garam, dan sebagainya. Sebagai minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu 1) arak, 2) tuak, 3) berem, 4) darah, dan 5) air.

2.1.1 Macam-Macam Banten Segehan
1.  Segehan Saiban
Saiban adalah sajen kecil setiap habis memasak. Segehan Saiban adalah segehan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Wujud segehan tersebut berupa nasi dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi lauknya.
Segehan saiban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau manifestasi Tuhan dan Bhuta Kala di setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah atau merajan, lebuh atau jalan.
Segehan saiban mengandung makna sebagai ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, Bhuta Kala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini. Menurut Sudarsana (2001: 86-87), segehan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. Hanya manusialah diharapkan melakukan penyupatan agar nanti kalau reinkarnasi dapat menjadi manusia. Di samping itu, memiliki nilai tinggi terhadap karma manusia karena disadari bahwa segala sesuatu yang dimakan adalah berkat ciptaan-Nya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang akan dimakan hendaknya terlebih dahulu dipersembahkan kepada-Nya. Pernyataan tersebut terangkum dalam kitab suci Bhagawad Githa Bab III sloka 13 sebagai berikut:
Yajna-sistasinah santo
mucyante sarva-kilbisaih,
bhunjate te tv agham papa
ye pacanty atma-karanat.
Terjemahan:
Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari dosa, (tetapi) ia yang memasak makanan bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Adapun yang dimaksud dengan sisa yadnya adalah semua makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagain disajikan kepada yang patut diberi sajian atau pribadi yang paling utama. Orang yang menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan kesalahan. Orang yang menanak nasi untuk diri sendiri tanpa ngejot, itulah yang disebut bersalah. Orang yang menyiapkan makanan untuk kepuasan diri tidak hanya menjadi pencuri, tetapi juga memakan segala jenis dosa (Pudja, 2005: 86-87).

2.  Segehan Putih Kuning
Segehan kepel putih kuning adalah sajen segehan kepel yang berwarna putih dan kuning, beralaskan taledan, dengan lauk bawang merah, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Jadi, yang dimaksud dengan segehan kepel putih kuning adalah salah satu jenis segehan yang terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah wujud ritualnya:
Warna putih dan kuning pada segehan itu mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur. Selain untuk persembahan kepada roh leluhur, segehan putih kuning juga dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwa segehan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap suci.
Menurut Sudarsana (2001: 81), segehan putih kuning mengandung makna sebagai simbol kekuatan Bhuta Nareswari yang dapat mempengaruhi jiwa manusia untuk berperilaku malas dan boros. Untuk menetralkan pengaruh itu pada diri seseorang, perlu dibuatkan segehan putih kuning.

3.      Segehan Sah-Sah
Kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa Bali yang berasal dari kata asah yang berarti “rata”. Kata sah-sah itu sendiri berarti “dibuat rata”. Segehan sah-sah adalah sebuah wujud ritual segehan yang nasinya ditaruh begitu saja atau terurai, tanpa warna, beralaskan daun telujungan “pucuk daun pisang”, dengan lauk jejeron matah, uyah “garam”, bawang “bawang merah”, dan jahe.

4.      Segehan Cah-cahan
Segehan cah-cahan adalah sajen segehan yang beralaskan taledan yang berisi beras, benang putih, uang, base tampel, dan bijaratus (Kamiartha, 1992: 58). Segehan cah-cah atau cah-cahan dalam tulisan ini adalah sebuah wujud ritual segehan dengan nasi berwarna putih, yang dibentuk kecil-kecil seperti di cah-cah “direcah” dan ditaruh di atas tamas (alas daun kelapa yang dibentuk menyerupai piring). Kata cah-cahan adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti “recahan”. Wujud ritual segehan tersebut bersama-sama dengan wujud ritual lainnya, umumnya dipersembahkan untuk ritual Bhuta Yadnya (persembahan kepada Bhuta Kala) yang sederhana seperti pada saat kliwon, purnama, dan tilem (Pemprov. Bali, 2005: 115). Berikut adalah wujud ritualnya:
Segehan cah-cahan yang utuh seharusnya terdiri atas atau berjumlah 133 buah. Namun, ada kalanya dibuat 108, 66, 33, atau 11 buah. Angka-angka tersebut mengandung makna sebagai berikut. Angka 133 menggambarkan bahwa segehan itu ditujukan kepada Bhuta Kala yang seluruhnya berjumlah 133. Dalam ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 Bhuta Kala yang dikenal dalam ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna (diketahui nama, tugas, dan fungsinya).

5.       Segehan Agung
Segehan agung adalah segehan yang beralaskan nyiru yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58). Biasanya segehan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik mentah. Segehan tersebut dibuat di atas alas nyiru yang berisi beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun sebuah kemiri, telor, pangi “keluek”, gagantusan, peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan mata angin (Sudarsana, 2001: 83). Segehan tersebut juga dilengkapi canang gantal, dan canang rebong. Sesusai dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu Timur, Selatan, Barat, dan Utara.

6.      Segehan Wong-Wongan
Segehan wong-wongan adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan “orang-orangan” berasal dari kata wong “orang/manusia”. Segehan tersebut dilengkapi dengan lauk jejeron matah “jeroan mentah”, bawang merah, jahe, dan garam. Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluan masyarakat.

7.      Segehan Tumpeng
Segehan tumpeng atau segehan nasi tumpeng adalah sebuah wujud ritual segehan yang berbentuk tumpeng ‘kerucut’. Segehan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosannya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehari-hari segehan model itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya dipersembahkan saat-saat tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang wujud ritual segehan yang dimaksud ialah sebagai berikut:
Segehan tumpeng itu dibuat dengan sarana utama nasi yang berbentuk tumpeng dengan warna yang berbeda-beda, sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan panca warna. Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa segehan itu dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun (campuran warna merah, putih, hitam).

8.       Segehan Tulak
Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buah segehan, yaitu segehan sliwah, sagahan kepel poleng, dan segehan tulak. Kata tulak adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja. Segehan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah. Segehan sliwah adalah segehan wong-wongan yang separo badan berwarna putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Segehan kepel poleng adalah segehan yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dan segehan tulak adalah wujud segehan yang berupa dua buah nasi wong-wongan ‘menyerupai manusia’ terbalik atau beradu kepala. Ketiga segehan tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi.

2.1.2 Perlengkapan Banten Segehan
Segehan sebagai sebuah wujud ritual juga dilengkapi dengan beberapa peralatan yang lain seperti, lauk (bawang merah, jahe, garam, dan jeroan mentah), minuman (arak, berem “air tape”, air, tuak “nira”, dan darah), api , dan canang. Masing-masing perlengkapan segehan itu memiliki makna sendiri-sendiri. Adapun maknanya adalah sebagai berikut:
1.      Lauk
Bawang merah, garam, jahe, dan jeroan mentah adalah lauk yang selalu menyertai ritual segehan. Bawang merah yang memiliki bau dan rasa yang sangat tajam atau amis, jahe yang memiliki rasa sepat dan pahit, dan jeroan mentah atau isi perut, dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali adalah kesukaan Bhuta Kala. Segala sesuatu yang berbau menyengat dan amis seperti tersebut di atas, menurut keyakinan umat Hindu disenangi oleh para Bhuta Kala.
Bawang merah yang berbau amis itu juga sering digunakan oleh masyarakat sebagai penangkal leak dengan cara dioleskan pada ubun-ubun bayi atau balita. Maksudnya adalah agar leak tersebut tidak mengganggu si bayi karena sudah cukup puas dengan menjilat bau bawang merah itu. Untuk menolak mara bahaya secara umum, bawang merah itu bisa dioleskan diberbagai tempat, misalnya di badan orang dewasa , di atas pintu kamar, dan di sebelah kiri atau kanan pintu rumah.
Garam dalam kehidupan masyarakat memiliki manfaat yang sangat banyak. Garam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sangat akrab dengan kehidupan manusia, sampai-sampai digunakan sebagai pepatah yang berbunyi, bagaikan sayur tanpa garam, yang bermakna “hambar”. Dalam hubungannya dengan segehan, garam juga mengandung makna penyedap rasa persembahan. Dengan garam itu diharapkan segehan yang ditujukan kepada Bhuta Kala itu menjadi lebih enak rasanya, sehingga mereka terlena dan tidak ingat lagi dengan hal-hal yang lain.

2.      Minuman
Minuman (arak, berem “air tape”, air, tuak “nira”, dan darah), yang digunakan sebagai pelengkap segehan dikenal dengan tetabuhan. Kata tetabuhan itu sendiri berasal dari kata tabuh yang berarti “tabor”, “siram”. Hal itu sesuai dengan cara persembahan minuman itu, yaitu dengan cara disiramkan pada segehan.
Bhuta Kala dalam kepercayaan masyarakat Hindu diandaikan sebagai sosok yang mengerikan, menyeramkan, senang mabuk-mabukan, dan sebagainya yang memiliki sifat tidak baik. Berdasarkan keyakinan itu, mereka memandang perlu untuk memanjakannya dengan berbagai minuman keras yang memabukkan. Arak, berem ‘air tape’, tuak ‘nira’, dan darah adalah jenis-jenis minuman yang memabukkan. Dengan minuman (tetabuhan) tersebut di tambah dengan air, diharapkan para Bhuta Kala sudah merasa puas dan tidak mengganggu manusia. Persembahan darah dalam ritual Hindu dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadu ayam (tajen), dengan darah ayam atau babi yang langsung ditaruh pada segehan, dan dengan menyembelih anak ayam atau itik saat ritual segehan. Persembahan darah dengan penyembelihan anak ayam atau itik dikenal dengan istilah penyambleh. Dalam praktek sehari-hari, wujud ritual minuman yang berupa darah sering diganti dengan telur. Masyarakat yakin bahwa telur memiliki makna yang sama dengan darah. Pemakaian telur sebagai pengganti darah dapat dijumpai dalam wujud ritual segehan agung.

3.      Api
Api dalam keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api takep “api yang dibuat dalam dua buah sabut kelapa”. Dupa atau api yang digunakan dalam ritual itu mengandung makna sebagai lambang Dewa Brahma sebagai saksi atas ritual yang dilakukan. Brahma adalah Dewa Api yang memiliki fungsi dan peranan sebagai penerang jiwa orang yang menggunakannya. Asap yang ditimbulkan oleh dupa atau api takep yang membumbung ke udara diyakini sebagai penghantar ritual kepada para dewa dan Bhuta Kala.
Api yang memiliki sifat yang sama dengan matahari juga diyakini sebagai simbol Dewa Matahari yang dalam masyarakat Hindu dikenal dengan Sang Hyang Surya atau Sang Hyang Tigawelas atau Sang Hyang Triyodasasaksi. Wujud ritual dupa diandaikan bahwa dalam ritual tersebut telah hadir Sang Hyang Triyodasasaksi “tiga belas unsur Tuhan sebagai saksi” yang menyaksikan ritual sehingga menjadi sah adanya.

4.      Canang
Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘sirih’. Sirih yang di dalamnya dilengkapi dengan kapur dan pinang yang kemudian dikenal dengan porosan adalah unsur utama dari canang. Kalau sebuah canang itu tidak berisi porosan dianggap belum bernilai keagamaan. Porosan itu adalah lambang Tuhan sebagai Tri Murti. Pinang yang berwarna merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, sirih yang berwarna hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan kapur yang berwarna putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah (Titib, 2001: 144).
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah bertujuan untuk memohon kepada-Nya agar tercipta sesuatu yang memang patut tercipta, terpelihara sesuatu yang memang semestinya terpelihara, dan bergantinya atau leyapnya sesuatu yang mesti harus berganti atau lenyap.


2.2 Estetika Hindu
Agama Hindu merupakan unsur yang paling dominan sekaligus roh budaya masyarakat Bali. Agama Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali. Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu. Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani (Dickie 1976) dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik 1999:5). Ada banyak batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai estetika dan batasan yang diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli, hampir semua mengarah ke satu arah yakni menyangkut rasa indah yang membuat kita senang, terkesima, terpesona, bergairah dan bersemangat. Disadari atau tidak di dalam kehidupan sehari-hari semua umat manusia yang masih terikat dengan keduniawian membutuhkan keindahan.
Ketika manusia tampil dan mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis. Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait yakni objektivitas dan subyektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, sedangkan sisi yang ke dua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif ini.
Penilaian terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik-buruk) yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu, di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma-norma baik-buruk yang berlaku.
Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu seperti; konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan atau keindahan. Konsep Kesucian (Shiwan) pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu, seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para pemuka agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari segala keindahan.
Sebagai insan yang percaya akan kemahaesaan Hyang Widhi, orang Hindu percaya bahwa kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban umat Hindu untuk mempersembahkan kembali hasil ciptaan-Nya. Di sini kita melihat kesenian disajikan kepada Tuhan. Semua jenis kesenian yang merupakan persembahan kepada Tuhan dikatagorikan sebagai kesenian sakral. Pada saat yang bersamaan kesenian yang sama menjadi sajian kepada manusia (human audience), sebagai suatu persembahan dalam bentuk tontonan atau hiburan bagi masyarakat. Semua jenis kesenian yang disajikan sesama manusia dikatagorikan kesenian sekuler. Patut dicatat bahwa dalam derajat tertentu semua kesenian ini memiliki kekuatan spiritual, hanya ruang dan tempat penyajiannya mempunyai kualitas “spiritual” yang berbeda.

  
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Unsur-Unsur Satyam dalam Banten Segehan
Segehan dihaturkan kepada aspek sakti (kekuatan) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Unsur kebenaran (Satyam) yang terdapat dalam Banten Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva dan lontar Bhamakertih. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Selain itu  persembahan berupa segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Berikut unsur Satyam yang terkandung dalam Banten Segehan:
  1. Segehan saiban
Bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Segehan saiban hendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat tersebut. Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat tersebut.
  1. Segehan Putih Kuning
Umumnya segehan tersebut dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur. Selain untuk persembahan kepada roh leluhur, segehan putih kuning juga dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwa segehan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap suci.
  1. Segehan sah-sah
Segehan sah-sah adalah sebuah wujud ritual yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, dete, tonya, dan sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa segehan sah-sah digunakan sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gede Mecaling. Pada saat-saat tertentu, segehan sah-sah juga digunakan sebagai lambang persembahan kepada Bhuta Kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates.
  1. Segehan Cah-Cahan
Dalam ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 Bhuta Kala yang dikenal dalam ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna (diketahui nama, tugas, dan fungsinya). Dalam hubungannya dengan segehan cah-cahan adalah Bhuta Kala itu berjumlah 133. Mengapa jumlah 133 itu justru menjadi 108, 66, 33, dan 11 ? Hal itu disebabkan sudah ada wujud segehan yang lain sebagai penggantinya, misalnya segehan agung, tumpeng, wong-wongan, sah-sah, dan sebagainya. Makin kecil jumlah segehan cah-cahan itu disebabkan oleh makin banyak ada segehan yang lain yang dianggap telah melengkapi jumlah tersebut.
  1. Segehan Agung
Makna yang terkandung dalam wujud ritual segehan agung adalah sebagai berikut. Kata agung dalam hal ini bukan berarti ‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. Maksudnya, segehan agung bukanlah berarti segehan besar seperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan segehan yang ditujukan kepada seluruh Bhuta Kala dan pengikut-Nya. Hal itu tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Nasi yang ditaruh disetiap arah mata angin itu mengandung makna bahwa segehan itu ditujukan kepada suluruh Bhuta Kala yang ada di segala penjuru mata angin. Penaburan beras dan perlengkapan yang lain mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh Bhuta Kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan.
  1. Segehan Wong-Wongan
Secara kontekstual, makna segehan wong-wongan adalah lambang persembahan sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud segehan berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada Bhuta Kala dengan harapan memperoleh keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan atau isi perut manusia sebagai pelaku persembahan. Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak.
  1. Segehan Tumpeng
Makna yang terkandung di balik segehan tumpeng adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala, Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa segala kesenangan, dan Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan.
  1. Segehan Tulak
Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buah segehan, yaitu segehan sliwah, sagahan kepel poleng, dan segehan tulak. Adapun makna yang terkandung di balik segehan-segehan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Segehan sliwah mengandung makna sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar segala mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Segehan poleng adalah lambang persembahan kepada Sang Bhuta Poleng sebagai Bhuta Kala penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan segehan poleng diharapkan segala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng. Sedangkan, segehan tulak adalah lambang persembahan kepada Bhuta Kala yang dikenal sebagai Sang Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa segehan tulak diharapkan segala macam mara bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya.

3.2 Unsur-Unsur Siwam dalam Banten Segehan
Konsep kesucian (Shiwam) pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu, seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan etika (susila) dalam ajaran agama Hindu. Konsep siwam dalam Tri Wisesa mengandung pengertian  kesucian atau unsur etika. Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilaksanakan dalam Agama Hindu pasti memiliki landasan pelaksanaan kegiatannya atau yang lebih dikenal dengan etika. Begitu juga dalam setiap pelaksanaan atau pembuatan sarana yadnya. Pada setiap pembuatan sarana upakara hal mendasar yang harus dimiliki adalah memiliki keyakinan tinggi dan rasa kesungguh-sungguhan dan pembuatannya mengunakan sarana atau bahan yang suci secara fisik (skala), maupun niskala.
Segehan sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan keperluan. Segehan adalah kurban atau ritual persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara umum, fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang.
Wujud ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan. Wujud ritual segehan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya. Seperti telah dijelaskan di atas, segehan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan kepada para Bhuta Kala beserta pengikut-Nya yaitu Kala Buchara dan Buchari (Bhuta Kala) yang dipersembahkan sehari-hari supaya tidak mengganggu atau Grebeda di setiap aktivitas sehari-hari.  Unsur etika dalam mempersembahkan banten segehan ini ialah dalam menghaturkan segehan haruslah di landasi dengan rasa tulus dan ihklas, sebab menghaturkan, menyuguhkan, ataupun memberi, bila di landasi dengan rasa yang tulus ihklas maka itulah yang di sebut yadnya, sebab yadnya adalah pengorbanan yang tulus ihklas dan pada waktu akan membuat upakara hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu atau menyucikan laksana agar tingkat dan kesucian upakara dapat dipertahankan.

3.3 Unsur-Unsur Sundaram dalam Banten Segehan
Konsep sundaram tiada lain merupakan unsur atau nilai keindahan (estetika) dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya.
Para pemuka agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari segala keindahan. Atas kepercayaan ini umat Hindu percaya bahwa segala sesuatu yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan. Berdasarkan atas keyakinan bahwa kesenian ciptaan Tuhan, seniman Bali menjadikan kesenian sebagai sebuah persembahan atau yadnya, untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja dapat memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, melainkan juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu sendiri, yaitu Tuhan melalui symbol-simbol yang terdapat dalam ajaran agama Hindu.
Demikian juga halnya dalam sarana persembahan berupa ”banten segehan” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung konsep sundaram atau nilai estetika. ”banten segehan” memang bukan karya seni murni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”banten segehan” yang merupakan sarana dalam persembahan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika) yang luar biasa. ”Banten segehan” sebagai sarana dalam persembahan sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para Bhuta Kala (Kala Bhucara-Bhucari).dengan demikian hendaknya dapat membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan serta terbina hubungan yang harmonis terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam hal ini, symbol-simbol keindahan tersebut dapat juga terlihat dari warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan dari para dewa (Ista Dewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cah-cahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah atau halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para Bhuta (Panca Maha Bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan Manca Warna, kepel, atau agung. Segehan Manca Warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna Manca Warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Ista Dewata yang berkedudukan di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Segehan terdiri dari beberapa upakara seperti Jahe, secara imiah memiliki sifat panas, semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional, bawang yang memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial, garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia diatasnya ditambah dengan tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman atau bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang atau mati.




BAB IV
PENUTUP 

4.1  Simpulan
Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu seperti; konsep kebenaran (Satyam), konsep kesucian (Shiwam), dan konsep keindahan (Sundaram). Seperti yang dapat disimpulkan dalam pembahasan mengenai Banten Segehan Kajian Estetika Hindu berikut ini:
Konsep kebenaran (Satyam) dalam segehan dapat dilihat dari banten segehan yang dihaturkan kepada aspek sakti (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Konsep kesucian (Shiwam) pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Konsep siwam dalam Tri Wisesa mengandung pengertian  kesucian atau unsur etika. Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilaksanakan dalam Agama Hindu pasti memiliki landasan pelaksanaan kegiatannya atau yang lebih dikenal dengan etika. Begitu juga dalam setiap pelaksanaan atau pembuatan sarana yadnya.
Konsep sundaram tiada lain merupakan unsur atau nilai keindahan (estetika) dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan.







1 komentar:

  1. Slots - DrmCD
    The top three 하남 출장마사지 slots from the 과천 출장마사지 world of the slots industry. These are the 순천 출장샵 most popular in the industry. The jackpot 계룡 출장마사지 slots will be the most 서울특별 출장안마 popular Video slots machines: 5,716

    BalasHapus

BANTEN SEGEHAN KAJIAN ESTETIKA HINDU

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Umat Hindu memiliki beragam upakara yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan....