BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Umat Hindu memiliki beragam upakara yang digunakan untuk
mengiringi upacara keagamaan. Keanekaragaman upakara tersebut merupakan salah
satu ciri khas budaya Hindu di Bali. Berbagai macam persembahan dihaturkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
sebagai wujud rasa bhakti dan rasa syukur umat kehadapan-Nya. Umat Hindu
memiliki upakara untuk Upacara Bhuta
Yadnya, yaitu upakara yang dihaturkan kehadapan para Bhuta Kala, tujuannya adalah untuk menetralisir kekuatan negatif
menjadi kekuatan positif yang ada di alam semesta ini. Upakara ini yang disebut
banten segehan yang disebut sebagai upacara
Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang
kecil.
Dalam kesempatan ini, banten
segehan yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara Bhuta Yadnya akan dikaji melalui
unsur-unsur Estetika Hindu yang terkandung dalam banten segehan. Adapun
unsur-unsur tersebut ialah kebenaran (Satyam),
Kesucian (Siwam), dan Keindahan (Sundaram). Melalui pengkajian ini
diharapkan umat Hindu dapat memahami fungsi segehan
ini, yaitu sebagai aturan terkecil untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terbina keharmonisan hidup, seluruh
umat manusia terhindar dari segala godaan sekala
dan niskala, terutama terhindar dari
gangguan para Bhuta Kala (Kala Bhucara-Bhucari).
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah unsur-unsur Satyam
dalam Banten Segehan?
2. Bagaimanakah unsur-unsur Siwam
dalam Banten Segehan?
3. Bagaimanakah unsur-unsur Sundaram
dalam Banten Segehan?
BAB II
KONSEP
2.1 Banten Segehan
Segehan sebagai sebuah wujud ritual
dalam masyarakat Hindu di Bali berasal dari kata sega “nasi”, lalu mendapat akhiran “an”. Sega adalah kata dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti “nasi”. Segeh berarti “penyambutan”, dan segehan berarti ”menyuguhkan sesuatu”
(pada tamu yang terhormat). Dalam hal ini segehan
dapat diartikan sebagai sebuah suguhan kepada para Bhuta Kala yang sangat dihormati, karena sesungguhnya Bhuta Kala itu adalah Tuhan sebagai
wujud-Nya yang berbeda dalam hubungannya dengan pemberian anugerah kepada
pemuja-Nya.
Segehan adalah sebuah wujud ritual
umat Hindu Bali kepada Tuhannya yang berupa nasi dalam berbagai bentuk. Segehan adalah caru dalam wujud yang lebih kecil (Arwati, 1992: 3). Segehan adalah sajen yang digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya yang mana biasanya beralas taledan berisi nasi,
lauk-pauk: bawang, jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58).
Segehan oleh sebagian masyarakat
Bali, juga dikenal dengan sebutan blabaran.
Kata blabaran berasal dari kata blabar “banjir”, mendapat akhiran -an
menjadi blabaran berarti “kebanjiran”.
Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang.
Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau
kebanjiran, itu adalah pertanda buruk. Sehubungan dengan itu, orang yang
bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau
manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya.
Persembahan untuk menangkal bahaya tersebut di Bali dikenal dengan segehan. Segehan adalah ritual kurban atau caru dalam tingkatan kecil atau
sederhana. Tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur.
Segehan sebagai sebuah wujud ritual
dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang beraneka ragam, sesuai
dengan keperluan. Segehan adalah
kurban atau ritual persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa
syukur. Secara umum, fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana
persembahan, 2) untuk permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar
hutang (Bhuta Rna).
Wujud
ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan. Wujud ritual
segehan itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya.
Bagaimanapun wujudnya, bahan utamanya tidaklah berbeda, yaitu nasi atau sega. Yang berbeda-beda antara di suatu
daerah dan daerah lainnya adalah alas yang digunakan. Di beberapa daerah
menggunakan daun pisang sebagai alas, dan di daerah yang lainnya menggunakan
janur. Selain itu, ada juga masyarakat yang menggunakan daun pohon dadap atau
daun pohon yang lain sebagai alasnya.
Seperti
telah dijelaskan di atas, segehan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan
kepada para bhuta kala beserta pengikut-Nya yaitu Kala Buchara dan Buchari
(Bhuta Kala) yang dipersembahan
sehari-hari supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah atau
sudut- sudut natar Merajan dan Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk
bahkan ke perempatan jalan. Sebagai sebuah ritual kurban, segehan adalah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk sedemikian
rupa yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, garam, dan sebagainya. Sebagai
minumannya adalah lima jenis cairan, yaitu 1) arak, 2) tuak, 3) berem, 4)
darah, dan 5) air.
2.1.1
Macam-Macam Banten Segehan
1. Segehan
Saiban
Saiban adalah sajen kecil setiap
habis memasak. Segehan Saiban adalah segehan yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari.
Wujud segehan tersebut berupa nasi
dengan alas daun pisang atau daun pohon yang lainnya yang berukuran kurang
lebih 5 cm. Persembahan tersebut dibuat lengkap dengan lauknya. Lauknya sesuai
dengan apa yang dimasak. Artinya, tidak ada suatu keharusan untuk menghaturkan
lauk tertentu. Apa yang dimasak oleh masyarakat Hindu Bali, itulah yang menjadi
lauknya.
Segehan saiban dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak hanya dipersembahkan
kepada peralatan tersebut di atas, tetapi juga kepada dewa-dewa atau
manifestasi Tuhan dan Bhuta Kala di
setiap tempat yang umumnya digunakan sebagai tempat persembahyangan seperti
tempat beras, pelangkiran, halaman rumah, sanggah atau merajan, lebuh atau jalan.
Segehan
saiban mengandung makna sebagai
ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan, Bhuta Kala dan sebagai ungkapan terima
kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan
di dunia ini. Menurut Sudarsana (2001: 86-87),
segehan saiban mengandung makna sebagai sarana pengeruat/penyupatan terhadap
mahluk-mahluk selain manusia karena tergolong mahluk papa. Hanya manusialah diharapkan melakukan penyupatan agar nanti
kalau reinkarnasi dapat menjadi manusia. Di samping itu, memiliki nilai tinggi
terhadap karma manusia karena disadari bahwa segala sesuatu yang dimakan adalah
berkat ciptaan-Nya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang akan dimakan hendaknya
terlebih dahulu dipersembahkan kepada-Nya. Pernyataan tersebut terangkum dalam
kitab suci Bhagawad Githa Bab III sloka 13 sebagai berikut:
Yajna-sistasinah
santo
mucyante
sarva-kilbisaih,
bhunjate
te tv agham papa
ye
pacanty atma-karanat.
Terjemahan:
Ia yang memakan sisa yadnya akan
terlepas dari dosa, (tetapi) ia yang memasak makanan bagi diri sendiri,
sesungguhnya makan dosa.
Adapun yang dimaksud
dengan sisa yadnya adalah semua
makanan yang diperoleh setelah terlebih dahulu sebagain disajikan kepada yang
patut diberi sajian atau pribadi yang paling utama. Orang yang menyantap
makanan sisa dari yang telah disajikan itu, dianggap bebas dari dosa dan
kesalahan. Orang yang menanak nasi untuk diri sendiri tanpa ngejot, itulah yang disebut bersalah.
Orang yang menyiapkan makanan untuk kepuasan diri tidak hanya menjadi pencuri,
tetapi juga memakan segala jenis dosa (Pudja, 2005: 86-87).
2. Segehan
Putih Kuning
Segehan kepel putih kuning adalah
sajen segehan kepel yang berwarna putih dan kuning, beralaskan taledan, dengan lauk bawang merah,
jahe, dan garam (Kamiartha, 1992: 58). Jadi, yang dimaksud dengan segehan kepel putih kuning adalah salah
satu jenis segehan yang terbuat dari nasi yang dikepal dan diberi warna putih
dan kuning. Di bagian atas dilengkapi dengan porosan atau canang, dan di
bawahnya dilengkapi dengan lauk bawang merah, garam, dan jahe. Berikut adalah
wujud ritualnya:
Warna putih
dan kuning pada segehan itu
mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan. Umumnya segehan tersebut dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh
leluhur. Selain untuk persembahan kepada roh leluhur, segehan putih kuning juga
dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui secara
pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwa segehan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan
saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap
suci.
Menurut
Sudarsana (2001: 81), segehan putih
kuning mengandung makna sebagai simbol kekuatan Bhuta Nareswari yang dapat mempengaruhi jiwa manusia untuk
berperilaku malas dan boros. Untuk menetralkan pengaruh itu pada diri
seseorang, perlu dibuatkan segehan putih
kuning.
3.
Segehan Sah-Sah
Kata sah-sah adalah bentuk ulang dalam bahasa
Bali yang berasal dari kata asah yang
berarti “rata”. Kata sah-sah itu sendiri
berarti “dibuat rata”. Segehan sah-sah
adalah sebuah wujud ritual segehan yang nasinya ditaruh begitu saja atau
terurai, tanpa warna, beralaskan daun telujungan “pucuk daun pisang”, dengan
lauk jejeron matah, uyah “garam”, bawang “bawang merah”, dan
jahe.
4.
Segehan Cah-cahan
Segehan cah-cahan adalah
sajen segehan yang beralaskan taledan yang berisi beras, benang putih, uang, base tampel, dan bijaratus (Kamiartha,
1992: 58). Segehan cah-cah atau cah-cahan dalam tulisan ini adalah sebuah wujud ritual segehan dengan nasi berwarna putih, yang
dibentuk kecil-kecil seperti di cah-cah
“direcah” dan ditaruh di atas tamas (alas daun kelapa yang dibentuk menyerupai
piring). Kata cah-cahan adalah kosa
kata bahasa Bali yang berarti “recahan”. Wujud ritual segehan tersebut bersama-sama dengan wujud ritual lainnya, umumnya
dipersembahkan untuk ritual Bhuta Yadnya
(persembahan kepada Bhuta Kala) yang
sederhana seperti pada saat kliwon, purnama, dan tilem (Pemprov. Bali, 2005:
115). Berikut adalah wujud ritualnya:
Segehan
cah-cahan yang utuh seharusnya
terdiri atas atau berjumlah 133 buah. Namun, ada kalanya dibuat 108, 66, 33,
atau 11 buah. Angka-angka tersebut mengandung makna sebagai berikut. Angka 133
menggambarkan bahwa segehan itu ditujukan kepada Bhuta Kala yang seluruhnya berjumlah 133. Dalam ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa ada 133 Bhuta Kala yang dikenal dalam ajaran
Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna (diketahui nama, tugas, dan
fungsinya).
5.
Segehan
Agung
Segehan agung adalah segehan yang
beralaskan nyiru yang berisi nasi,
bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58). Biasanya segehan agung dilengkapi dengan kelapa
dan telur itik mentah. Segehan tersebut
dibuat di atas alas nyiru yang berisi
beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun
sebuah kemiri, telor, pangi “keluek”,
gagantusan, peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan
mata angin (Sudarsana, 2001: 83). Segehan
tersebut juga dilengkapi canang gantal, dan canang rebong. Sesusai
dipersembahkan, beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu
Timur, Selatan, Barat, dan Utara.
6.
Segehan Wong-Wongan
Segehan wong-wongan adalah sebuah wujud ritual berupa nasi yang dibentuk
menyerupai orang atau manusia. Kata ulang wong-wongan
“orang-orangan” berasal dari kata wong
“orang/manusia”. Segehan tersebut dilengkapi dengan lauk jejeron matah “jeroan mentah”, bawang merah, jahe, dan garam.
Adapun warna nasi yang digunakan adalah bermacam-macam, ada yang berwarna
putih, merah, dan brumbun, sesuai dengan keperluan masyarakat.
7.
Segehan Tumpeng
Segehan tumpeng atau
segehan nasi tumpeng adalah sebuah wujud ritual segehan yang berbentuk tumpeng ‘kerucut’. Segehan tersebut dibuat di atas pucuk daun pisang dan dilengkapi
dengan lauk jeroan mentah, bawang merah, jahe, dan garam. Di ujung bagian atas
daun diberi bunga atau canang lengkap dengan porosannya. Dalam kehidupan masyarakat
Hindu Bali sehari-hari segehan model
itu sangat jarang ditemukan karena termasuk wujud ritual khusus yang hanya
dipersembahkan saat-saat tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang wujud ritual segehan yang dimaksud ialah sebagai
berikut:
Segehan tumpeng itu dibuat
dengan sarana utama nasi yang berbentuk tumpeng dengan warna yang berbeda-beda,
sesuai keperluan. Ada yang berwarna putih, kuning, merah, hitam, dan panca warna.
Perbedaan warna nasi tersebut disesuaikan dengan tujuan kepada siapa segehan itu
dipersembahkan. Misalnya, untuk Sang
Bhuta Mancawarna sebagai jelmaan Dewa Siwa di gunakan warna brumbun
(campuran warna merah, putih, hitam).
8.
Segehan Tulak
Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buah segehan, yaitu segehan sliwah, sagahan kepel poleng, dan segehan tulak. Kata tulak adalah kosa kata
bahasa Bali yang berarti ‘tolak’, ‘balik’. Segehan
tulak adalah sebuah wujud ritual yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali,
yang bertujuan untuk menolak mara bahaya yang bisa datang kapan saja. Segehan tersebut dibuat di atas pucuk
daun pisang yang dilengkapi dengan lauk bawang, jahe, gara, dan jeroan mentah. Segehan sliwah adalah segehan wong-wongan yang separo badan berwarna
putih, separo lagi berwarna merah atau hitam yang di Bali disebut berwarna sliwah. Segehan kepel poleng adalah segehan
yang dibuat dengan cara dikepal dan diberi warna hitam dan putih (poleng). Dan segehan tulak adalah wujud segehan yang berupa dua buah nasi wong-wongan ‘menyerupai manusia’
terbalik atau beradu kepala. Ketiga segehan
tersebut masing-masing dipersembahkan kepada Sang Bhuta Sliwah, Sang Bhuta Poleng, dan Sang Bhuta Mandi.
2.1.2
Perlengkapan Banten Segehan
Segehan
sebagai sebuah wujud ritual juga dilengkapi dengan beberapa peralatan yang lain
seperti, lauk (bawang merah, jahe, garam, dan jeroan mentah), minuman (arak,
berem “air tape”, air, tuak “nira”,
dan darah), api , dan canang. Masing-masing perlengkapan segehan itu memiliki
makna sendiri-sendiri. Adapun maknanya adalah sebagai berikut:
1.
Lauk
Bawang
merah, garam, jahe, dan jeroan mentah adalah lauk yang selalu menyertai ritual segehan. Bawang merah yang memiliki bau
dan rasa yang sangat tajam atau amis, jahe yang memiliki rasa sepat dan pahit,
dan jeroan mentah atau isi perut, dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali
adalah kesukaan Bhuta Kala. Segala
sesuatu yang berbau menyengat dan amis seperti tersebut di atas, menurut
keyakinan umat Hindu disenangi oleh para Bhuta
Kala.
Bawang
merah yang berbau amis itu juga sering digunakan oleh masyarakat sebagai
penangkal leak dengan cara dioleskan
pada ubun-ubun bayi atau balita. Maksudnya adalah agar leak tersebut tidak mengganggu si bayi karena sudah cukup puas
dengan menjilat bau bawang merah itu. Untuk menolak mara bahaya secara umum,
bawang merah itu bisa dioleskan diberbagai tempat, misalnya di badan orang
dewasa , di atas pintu kamar, dan di sebelah kiri atau kanan pintu rumah.
Garam dalam
kehidupan masyarakat memiliki manfaat yang sangat banyak. Garam memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Benda tersebut sangat
akrab dengan kehidupan manusia, sampai-sampai digunakan sebagai pepatah yang
berbunyi, bagaikan sayur tanpa garam, yang bermakna “hambar”. Dalam hubungannya
dengan segehan, garam juga mengandung
makna penyedap rasa persembahan. Dengan garam itu diharapkan segehan yang ditujukan kepada Bhuta Kala itu menjadi lebih enak
rasanya, sehingga mereka terlena dan tidak ingat lagi dengan hal-hal yang lain.
2.
Minuman
Minuman
(arak, berem “air tape”, air, tuak “nira”,
dan darah), yang digunakan sebagai pelengkap segehan dikenal dengan tetabuhan. Kata tetabuhan itu sendiri berasal
dari kata tabuh yang berarti “tabor”,
“siram”. Hal itu sesuai dengan cara persembahan minuman itu, yaitu dengan cara
disiramkan pada segehan.
Bhuta Kala dalam kepercayaan
masyarakat Hindu diandaikan sebagai sosok yang mengerikan, menyeramkan, senang
mabuk-mabukan, dan sebagainya yang memiliki sifat tidak baik. Berdasarkan
keyakinan itu, mereka memandang perlu untuk memanjakannya dengan berbagai minuman
keras yang memabukkan. Arak, berem ‘air tape’, tuak ‘nira’, dan darah adalah jenis-jenis minuman yang memabukkan. Dengan
minuman (tetabuhan) tersebut di
tambah dengan air, diharapkan para Bhuta
Kala sudah merasa puas dan tidak mengganggu manusia. Persembahan darah
dalam ritual Hindu dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadu
ayam (tajen), dengan darah ayam atau
babi yang langsung ditaruh pada segehan,
dan dengan menyembelih anak ayam atau itik saat ritual segehan. Persembahan darah dengan penyembelihan anak ayam atau itik
dikenal dengan istilah penyambleh. Dalam
praktek sehari-hari, wujud ritual minuman yang berupa darah sering diganti
dengan telur. Masyarakat yakin bahwa telur memiliki makna yang sama dengan
darah. Pemakaian telur sebagai pengganti darah dapat dijumpai dalam wujud
ritual segehan agung.
3.
Api
Api dalam
keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam
hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api takep “api yang dibuat dalam dua
buah sabut kelapa”. Dupa atau api yang digunakan dalam ritual itu mengandung
makna sebagai lambang Dewa Brahma sebagai saksi atas ritual yang dilakukan.
Brahma adalah Dewa Api yang memiliki fungsi dan peranan sebagai penerang jiwa
orang yang menggunakannya. Asap yang ditimbulkan oleh dupa atau api takep yang membumbung ke udara
diyakini sebagai penghantar ritual kepada para dewa dan Bhuta Kala.
Api yang
memiliki sifat yang sama dengan matahari juga diyakini sebagai simbol Dewa
Matahari yang dalam masyarakat Hindu dikenal dengan Sang Hyang Surya atau Sang
Hyang Tigawelas atau Sang Hyang
Triyodasasaksi. Wujud ritual dupa diandaikan bahwa dalam ritual tersebut
telah hadir Sang Hyang Triyodasasaksi
“tiga belas unsur Tuhan sebagai saksi” yang menyaksikan ritual sehingga menjadi
sah adanya.
4.
Canang
Kata canang
berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘sirih’.
Sirih yang di dalamnya dilengkapi dengan kapur dan pinang yang kemudian dikenal
dengan porosan adalah unsur utama dari canang. Kalau sebuah canang itu tidak
berisi porosan dianggap belum bernilai keagamaan. Porosan itu adalah lambang
Tuhan sebagai Tri Murti. Pinang yang
berwarna merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, sirih yang berwarna
hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan kapur yang berwarna
putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah (Titib, 2001: 144).
Pemujaan
Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah bertujuan untuk memohon
kepada-Nya agar tercipta sesuatu yang memang patut tercipta, terpelihara
sesuatu yang memang semestinya terpelihara, dan bergantinya atau leyapnya
sesuatu yang mesti harus berganti atau lenyap.
2.2 Estetika Hindu
Agama Hindu
merupakan unsur yang paling dominan sekaligus roh budaya masyarakat Bali. Agama
Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali.
Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan
ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang
bersumber dari agama Hindu. Estetika (aesthetics)
berasal dari kata aisthesis dalam
bahasa Yunani (Dickie 1976) dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang
timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik 1999:5). Ada banyak batasan
yang telah diajukan oleh para ahli mengenai estetika dan batasan yang diberikan
itu berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran
fokus dari disiplin ini sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli, hampir semua mengarah
ke satu arah yakni menyangkut rasa indah yang membuat kita senang, terkesima,
terpesona, bergairah dan bersemangat. Disadari atau tidak di dalam kehidupan
sehari-hari semua umat manusia yang masih terikat dengan keduniawian
membutuhkan keindahan.
Ketika
manusia tampil dan mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan
dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis.
Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk
terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Estetika yang bertumpu kepada
masalah rasa akan selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait yakni
objektivitas dan subyektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau
kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, sedangkan sisi yang ke dua
menyangkut kesan atau rasa (lango)
yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis
yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif
ini.
Penilaian
terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik-buruk)
yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan
suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya
terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu,
di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan
sesuai dengan norma-norma baik-buruk yang berlaku.
Estetika
Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai
agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa
konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu
seperti; konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan atau
keindahan. Konsep Kesucian (Shiwan)
pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan
taksu. Umat Hindu, seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik
yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama
Hindu. Para pemuka agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha
Indah dan sumber dari segala keindahan.
Sebagai
insan yang percaya akan kemahaesaan Hyang Widhi, orang Hindu percaya bahwa
kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Untuk itu, sudah
menjadi kewajiban umat Hindu untuk mempersembahkan kembali hasil ciptaan-Nya.
Di sini kita melihat kesenian disajikan kepada Tuhan. Semua jenis kesenian yang
merupakan persembahan kepada Tuhan dikatagorikan sebagai kesenian sakral. Pada
saat yang bersamaan kesenian yang sama menjadi sajian kepada manusia (human audience), sebagai suatu
persembahan dalam bentuk tontonan atau hiburan bagi masyarakat. Semua jenis
kesenian yang disajikan sesama manusia dikatagorikan kesenian sekuler. Patut
dicatat bahwa dalam derajat tertentu semua kesenian ini memiliki kekuatan
spiritual, hanya ruang dan tempat penyajiannya mempunyai kualitas “spiritual”
yang berbeda.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Unsur-Unsur Satyam
dalam Banten Segehan
Segehan dihaturkan kepada aspek
sakti (kekuatan) yaitu Dhurga lengkap
dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala
itu sendiri. Unsur kebenaran (Satyam)
yang terdapat dalam Banten Segehan
dan Caru banyak disinggung dalam
lontar Kala Tattva dan lontar Bhamakertih. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga
hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan
menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada
ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan. Selain itu persembahan berupa segehan inilah diharapkan
dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif. Segehan adalah lambang
harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Berikut unsur Satyam
yang terkandung dalam Banten Segehan:
- Segehan saiban
Bagi sebagian masyarakat juga disebut sebagai banten jotan. Menurut Lontar Dharmasastra seorang kepala keluarga
mempunyai lima macam penyembelihan, yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu,
lesung/lumpang dengan alunya, dan tempayan/tempat air. Segehan saiban hendaknya dipersembahkan hanya kepada alat-alat
tersebut. Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, alat-alat seperti tersebut
di atas memiliki jasa yang amat besar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, apapun yang dimakan oleh mereka harus dipersembahkan kepada alat-alat
tersebut.
- Segehan
Putih Kuning
Umumnya segehan tersebut
dipersembahkan kepada para pengikut roh-roh leluhur. Selain untuk persembahan
kepada roh leluhur, segehan putih kuning
juga dipersembahkan kepada Tuhan atau manifestasi-Nya yang belum diketahui
secara pasti. Masyarakat Hindu di Bali menganggap bahwa segehan tersebut bersifat netral atau dapat dipersembahkan kapan
saja dan dimana saja kepada roh-roh ataupun manifestasi Tuhan yang dianggap
suci.
- Segehan
sah-sah
Segehan
sah-sah adalah sebuah wujud ritual
yang biasanya dipersembahkan kepada para mahluk-mahluk halus seperti wong samar, dete, tonya, dan
sebagainya. Secara implisit dalam Ajaran Kandapatsari
dijelaskan bahwa segehan sah-sah digunakan
sebagai persembahan kepada mahluk halus yang berada di bawah kekuasaan Ratu Gede Mecaling. Pada saat-saat
tertentu, segehan sah-sah juga
digunakan sebagai lambang persembahan kepada
Bhuta Kala yang berfungsi sebagai penjaga perbatasan yang disebut sebagai Sang Bhuta Pemali Wates.
- Segehan
Cah-Cahan
Dalam
ajaran Kandapatsari dijelaskan bahwa
ada 133 Bhuta Kala yang dikenal dalam
ajaran Hindu. Dikenal dalam hal ini mengandung makna (diketahui nama, tugas,
dan fungsinya). Dalam hubungannya dengan segehan
cah-cahan adalah Bhuta Kala itu
berjumlah 133. Mengapa jumlah 133 itu justru menjadi 108, 66, 33, dan 11 ? Hal
itu disebabkan sudah ada wujud segehan yang lain sebagai penggantinya, misalnya
segehan agung, tumpeng, wong-wongan,
sah-sah, dan sebagainya. Makin kecil jumlah segehan cah-cahan itu disebabkan oleh makin banyak ada segehan yang lain
yang dianggap telah melengkapi jumlah tersebut.
- Segehan Agung
Makna yang terkandung dalam wujud ritual segehan agung adalah sebagai berikut. Kata agung dalam hal ini
bukan berarti ‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. Maksudnya, segehan agung bukanlah berarti
segehan besar seperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan segehan yang ditujukan kepada seluruh Bhuta Kala dan pengikut-Nya. Hal itu
tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan beras
serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Nasi yang
ditaruh disetiap arah mata angin itu mengandung makna bahwa segehan itu ditujukan
kepada suluruh Bhuta Kala yang ada di
segala penjuru mata angin. Penaburan beras dan perlengkapan yang lain
mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh Bhuta Kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin tidak dapat
hadir saat ritual dilaksanakan.
- Segehan
Wong-Wongan
Secara
kontekstual, makna segehan wong-wongan adalah lambang persembahan
sebagai pengganti diri dan nyawa orang yang mempersembahkannya. Wujud segehan
berupa manusia adalah wujud ritual yang dipersembahkan kepada Bhuta Kala dengan harapan memperoleh
keselamatan. Jeroan mentah memiliki makna sebagai jeroan atau isi perut manusia sebagai pelaku persembahan.
Sedangkan, bawang merah, garam, jahe adalah pelengkap persembahan yang membuat
suguhan kepada bhuta kala tersebut menjadi lebih enak.
- Segehan
Tumpeng
Makna
yang terkandung di balik segehan tumpeng
adalah sebagai lambang persembahan kepada puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan
dalam agama Hindu. Yang dikenal sebagai puncak-puncak kemahakuasaan Tuhan itu
adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Ghana, Kala,
Kumara, Saraswati, dan sebagainya. Maksudnya, Brahma adalah puncak kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pelebur, Ghana sebagai penolak mara bahaya, Kala sebagai penguasa waktu, Kumara sebagai penguasa segala
kesenangan, dan Saraswati sebagai
penguasa ilmu pengetahuan.
- Segehan
Tulak
Segehan tulak adalah sebuah wujud ritual yang terdiri atas tiga buah segehan, yaitu segehan sliwah, sagahan kepel poleng, dan segehan tulak. Adapun makna yang terkandung di balik segehan-segehan yang dimaksud adalah
sebagai berikut. Segehan sliwah mengandung makna sebagai persembahan
kepada Sang Bhuta Sliwah. Warna sliwah itu mengandung makna agar segala
mara bahaya yang ada atau yang akan datang menjadi netral. Segehan poleng adalah
lambang persembahan kepada Sang Bhuta
Poleng sebagai Bhuta Kala
penguasa berbagai macam kesaktian. Dengan persembahan segehan poleng diharapkan
segala kekuatan yang menyertai mara bahaya itu akan lenyap atas izin Sang Bhuta Poleng. Sedangkan, segehan tulak adalah lambang persembahan kepada Bhuta Kala yang dikenal sebagai Sang
Bhuta Mandi. Wujud ritual yang berupa segehan
tulak diharapkan segala macam mara
bahaya akan berbalik atau pulang ke asalnya.
3.2 Unsur-Unsur Siwam
dalam Banten Segehan
Konsep kesucian
(Shiwam) pada intinya menyangkut
nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya
dan taksu. Umat Hindu, seperti yang
terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai
spiritual ketuhanan sesuai dengan etika (susila)
dalam ajaran agama Hindu. Konsep siwam
dalam Tri Wisesa mengandung
pengertian kesucian atau unsur etika.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilaksanakan dalam Agama Hindu pasti
memiliki landasan pelaksanaan kegiatannya atau yang lebih dikenal dengan etika.
Begitu juga dalam setiap pelaksanaan atau pembuatan sarana yadnya. Pada setiap pembuatan sarana upakara hal mendasar yang
harus dimiliki adalah memiliki keyakinan tinggi dan rasa kesungguh-sungguhan
dan pembuatannya mengunakan sarana atau bahan yang suci secara fisik (skala), maupun niskala.
Segehan
sebagai sebuah wujud ritual dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki bentuk yang
beraneka ragam, sesuai dengan keperluan. Segehan adalah kurban atau ritual
persembahan yang bukan bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur. Secara umum,
fungsi segehan ada empat, yaitu 1) untuk sarana persembahan, 2) untuk
permohonan, 3) untuk penghormatan, dan 4) untuk membayar hutang.
Wujud
ritual dalam hal ini adalah rupa atau bentuk ritual segehan. Wujud ritual segehan
itu bermacam-macam sesuai dengan tujuan pembuatan dan permohonannya. Seperti
telah dijelaskan di atas, segehan adalah wujud ritual kurban yang ditujukan
kepada para Bhuta Kala beserta
pengikut-Nya yaitu Kala Buchara dan Buchari (Bhuta Kala) yang dipersembahkan sehari-hari supaya tidak mengganggu
atau Grebeda di setiap aktivitas
sehari-hari. Unsur etika dalam
mempersembahkan banten segehan ini
ialah dalam menghaturkan segehan
haruslah di landasi dengan rasa tulus dan ihklas, sebab menghaturkan,
menyuguhkan, ataupun memberi, bila di landasi dengan rasa yang tulus ihklas maka
itulah yang di sebut yadnya, sebab yadnya adalah pengorbanan yang tulus
ihklas dan pada waktu akan membuat upakara hendaknya membersihkan diri terlebih
dahulu atau menyucikan laksana agar tingkat dan kesucian upakara dapat
dipertahankan.
3.3 Unsur-Unsur Sundaram
dalam Banten Segehan
Konsep sundaram tiada lain merupakan unsur atau
nilai keindahan (estetika) dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri
dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu
memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh
dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat
dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang
logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia. Tanpa
keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa.
Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai
penghalus rasa dalam kehidupannya.
Para pemuka
agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari
segala keindahan. Atas kepercayaan ini umat Hindu percaya bahwa segala sesuatu
yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan. Berdasarkan atas keyakinan bahwa
kesenian ciptaan Tuhan, seniman Bali menjadikan kesenian sebagai sebuah
persembahan atau yadnya, untuk
mendekatkan diri kepada Hyang Widhi.
Dengan yadnya dimaksudkan bahwa
berkesenian itu tidak saja dapat memuaskan serta memenuhi dorongan estetis
pribadi atau masyarakat, melainkan juga sebagai wahana bagi seniman untuk
mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu sendiri, yaitu Tuhan melalui
symbol-simbol yang terdapat dalam ajaran agama Hindu.
Demikian
juga halnya dalam sarana persembahan berupa ”banten segehan” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung
konsep sundaram atau nilai estetika.
”banten segehan” memang bukan karya
seni murni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi
tanpa disadari ”banten segehan” yang
merupakan sarana dalam persembahan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika)
yang luar biasa. ”Banten segehan”
sebagai sarana dalam persembahan sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan
hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala,
terutama terhindar dari gangguan para
Bhuta Kala (Kala Bhucara-Bhucari).dengan
demikian hendaknya dapat membawa suasana bathin yang indah, senang, suci,
kusyuk dan nyaman sehingga memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau
memulikan Tuhan serta terbina hubungan yang harmonis terhadap semua makhluk
ciptaan Tuhan.
Dalam hal
ini, symbol-simbol keindahan tersebut dapat juga terlihat dari warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan
simbolis kedudukan dari para dewa (Ista Dewata)
yang dihaturi segehan. Pada waktu
selesai memasak, dipersembahkan segehan cah-cahan
(jotan, yadnya sesa, nasinya tidak
dikepel, tidak dibuat tumpeng)
kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta.
Segehan ini dihaturkan di tempat
masak (api), di atas tempat air (apah),
di tempat beras (pertiwi), di natah
atau halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar
para Bhuta (Panca Maha Bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan
menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan
jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan
Manca Warna, kepel, atau agung. Segehan Manca Warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna
merah (Dewa Brahma), di barat nasi
berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di
utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu),
dan di tengah-tengah nasi berwarna Manca
Warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa
Siwa), sesuai dengan kekuatan Ista Dewata
yang berkedudukan di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di
tengah-tengah.
Secara
etimologi Segehan artinya Suguh
(menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta
Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan
oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu.
Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh
negatik dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan
manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Segehan terdiri dari beberapa upakara
seperti Jahe, secara imiah memiliki sifat panas, semangat dibutuhkan oleh
manusia tapi tidak boleh emosional, bawang yang memiliki sifat dingin. Manusia
harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat
dingin terhadap masalah-masalah sosial, garam, memiliki PH-0 artinya bersifat
netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi
yang merugikan manusia diatasnya ditambah dengan tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara
ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman atau bakteri
yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran.
Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, virus, kuman yang
merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang atau mati.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Estetika
Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai
agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Ada beberapa
konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu
seperti; konsep kebenaran (Satyam),
konsep kesucian (Shiwam), dan konsep
keindahan (Sundaram). Seperti yang
dapat disimpulkan dalam pembahasan mengenai Banten
Segehan Kajian Estetika Hindu berikut ini:
Konsep
kebenaran (Satyam) dalam segehan dapat dilihat dari banten segehan yang dihaturkan kepada
aspek sakti (kekuatan ) yaitu Dhurga
lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru
banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Segehan adalah
lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Konsep kesucian
(Shiwam) pada intinya menyangkut
nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya
dan taksu. Konsep siwam dalam Tri Wisesa mengandung pengertian
kesucian atau unsur etika. Pada dasarnya setiap kegiatan yang
dilaksanakan dalam Agama Hindu pasti memiliki landasan pelaksanaan kegiatannya
atau yang lebih dikenal dengan etika. Begitu juga dalam setiap pelaksanaan atau
pembuatan sarana yadnya.
Konsep sundaram tiada lain merupakan unsur atau
nilai keindahan (estetika) dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri
dan bagi masyarakat penikmat. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup
manusia. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan
pengaruh negatik dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya
hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan.
Slots - DrmCD
BalasHapusThe top three 하남 출장마사지 slots from the 과천 출장마사지 world of the slots industry. These are the 순천 출장샵 most popular in the industry. The jackpot 계룡 출장마사지 slots will be the most 서울특별 출장안마 popular Video slots machines: 5,716